Minggu, 16 Oktober 2016

Lebih penting Etika Profesi atau Kemampuan Pribadi?

Lebih penting mana?
Etika Profesi atau Kemampuan Pribadi???
Etika profesi adalah adalah studi penerapan dari prinsip moral dasar atau norma-norma etis umum pada bidang profesi. Nilai-nilai etika itu bukan hanya milik segelintir orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok sosial, bahkan komunitas yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama, begitupun nilai-nilai etika profesi bukan hanya untuk segelintir atau sekelompok profesional, namun dituntut bagi semua orang yang terlibat dalam segala bidang profesi kerja. Etika profesi memberikan tuntutan agar profesional memiliki inisiatif dalam bekerja profesional agar bisa menemukan inovasi.
Profesional yang  menjunjung etika profesi selalu memiliki niat yang benar sesuai dengan profesinya. Orang yang tidak memiliki niat yang benar saat bekerja tidak akan bekerja dengan baik. Orang itu tidak akan memiliki komitmen terhadap kerja yang dilakukannya.
Etika profesi mendorong Sifat amanah dalam profesi, sifat amanah adalah inti keharmonisan dan kesuksesan sebuah institusi masyarakat atau pekerjaan; sebuah perusahaan misalnya. Bayangkan jika seseorang karyawan atau pegawai tidak memiliki sifat amanah; segala urusan tidak akan berjalan sempurna dan membawa kepada kehancuran institusi atau perusahaan tersebut.
Etika Profesi menganjurkan komitmen terhadap profesi. Kunci kesuksesan seseorang adalah berkomitmen terhadap karir yang ditekuninya. Berkomitmen yang dimaksud di sini adalah berkonsentrasi dan sungguh-sungguh terhadap apa yang dilakukan. Sifat berkomitmen ini dapat berkontribusi ke arah adanya mutu kerja atau layanan yang cemerlang.
Etika Profesi intinya adalah Moral. Moral merupakan inti pembentukan etika kerja professional. Moral  mulia yang dimiliki oleh karyawan maupun pimpinan menjadi lambang ketinggian pribadi dan kualitas individu tersebut. Apalah gunanya seorang yang berpendidikan tinggi dan kemudian menjabat pekerjaan yang bagus jika moralnya buruk. Moral yang buruk di sini misalnya menerapkan korupsi, dasar pilih kasih dalam kerja, dan tidak berkomitmen dalam kerja. Banyak contoh yang dapat kita lihat dalam administrasi negara kita sendiri di mana politisi yang mengamalkan korupsi dan tidak kurangnya juga yang menerima suap untuk menyetujui suatu proyek. Bahkan suatu gejala poltik uang pernah menggemparkan sebuah raksasa politik di negara kita. Kesimpulannya  moral adalah inti dari etika profesi ini.
Sifat jujur atau benar dapat membentuk hubungan yang sehat di antara sesama karyawan, karyawan dan majikan dan sesama pelanggan atau pun orang yang berurusan di dalam pekerjaan tersebut. Sifat jujur dan benar dapat membendung segala perasaan kecurigaan dan tipu daya atau pun dusta. Contoh tipu daya dalam pekerjaan adalah trader yang suka menipu pelanggannya dengan tujuan melipatgandakan keuntungan. kejujuran  di dalam pekerjaan sangat ditekankan pada Etika Profesi.
Sedangkan kemampuan pribadi adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Atau kemampuan juga dapat diartikan sebagai keahlian, kesanggupan atau kekuatan dari dalam diri untuk mengerjakan sesuatu hal sesuai takaran yang ada didalam diri. Kemampuan pribadi atau kemampuan yang ada didalam diri sendiri bisa didapat dari berbagai aspek, misalnya lingkungan, keluarga, teman, sekolah dan lain sebagainya.
Kemampuan pribadi dapat di asah atau dikembangkan dengan kemauan yang ada didalam diri. Kemampuan pribadi juga dapat dikategorikan bermacam-macam, yaitu kemampuan dalam bercakap, kemampuan intelektual dan lain sebagainya. Kemapuan dapat dikategorikan pula sebagai tolak ukur seseorang dalam meraih keberhasilan. Semakin tinggi kemampuan kita, berarti semakin besar pula gerbang kesuksesan yang akan diraih.
Jika berbicara soal seberapa penting etika profesi dan kemampuan pribadi, sebenarnya kedua hal tersebut memiliki nilai yang sama penting. Akan tetapi, jika ada pertanyaan “Penting mana Etika Profesi atau Kemampuan Pribadi?”. Jawabannya adalah etika profesi. Mengapa demikian, karena orang yang hanya memiliki kemampuan pribadi yang tinggi belum tentu memiliki karakter, watak, atau sikap norma yang tinggi pula. Sedangkan orang yang memiliki etika profesi yang baik, sudah pasti orang tersebut memiliki sikap profesional dan inisiatif untuk menemukan inovasi dalam mengembangkan kemampuan karena selalu menjunjung tinggi moral, komitmen dan kejujuran. 
               http://jaringankomputer.org/etika-profesi-dan-tanggung-jawab-profesi/

Etika Profesi

“Pentingnnya Etika Profesi”
Apakah etika, dan apakah etika profesi itu ? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI :
 • Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
• Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
• Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
Sumber: http://eprints.undip.ac.id/4907/1/Etika_Profesi.pdf

Contoh Kasus Etika Profesi pada Perspektif Etika

Kasus Mulyana dalam Perspektif Etika
SALAH satu kasus yang menyita perhatian publik Indonesia pada awal bulan April 2004 adalah kasus Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu (1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan (3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar setting teori keagenan di atas dan mencuatnya kasus Mulyana W Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika.
Etika
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatandeontological dan pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau salah.
Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak.
Tindakan Auditor BPK
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Etiskah Tindakan KPU?
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai 'aman' pada proses pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi, sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak auditor BPK?
Memang santer didengar oleh masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP, Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk mencapai rasa 'aman' atas tindakan pengelolaan uang.
Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Secara teoritis-normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?, yaitu penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja?
Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Butuh Waktu
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka satu poin lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
Adaikan saja, auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini. (29)
-Dr Muchamad Syafruddin MSi Akt, dosen FE Undip.

Tanggapan :
Dalam menanggapi kasus Mulyana W Kusumah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU. Hal tersebut tidak menggambarkan etika profesi yang baik. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya yang dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai. Akan tetapi sikap yang dilakukan oleh pihak auditor tidak demikian.
Seharusnya sikap seorang auditor tetap menekankan pada prinsip etika berkomunikasi yang baik selama pemerikasaan dalam melakukan wawancara dan permintaan keterangan dari pihak yang diaudit atau auditee untuk memperoleh data. Hal ini diarahkan pada suatu kerjasama, agar proses audit dapat berjalan dengan lancar dan hasil yang dicapai sesuai dengan harapan kedua belah pihak. Dengan memperhatikan etika dalam berkomunikasi tentunya dapat mencegah adanya salah pengertian dan selain itu mengembangkan sifat keterbukaan auditee dalam penemuan fakta-fakta audit oleh auditor.
Karena sikap auditor yang semestinya ialah menjadi auditor yang independen (tidak memihak siapapun/bebas pengaruh), objektif, jujur dalam segala hal dan berkompeten atau memiliki keahlian. Yang dimaksud kompetensi disini adalah kualifikasi yang dibutuhkan oleh auditor untuk melaksanakan audit dengan benar. Dengan begitu auditor dapat meningkatkan kualitas kerja dalam menjalankan tugas, peer review juga akan memberikan manfaat bagi pihak yang terlibat dan tentunya akan mengurangi  kasus hukum di Indonesia.