Kasus Mulyana dalam
Perspektif Etika
SALAH satu kasus yang menyita perhatian publik
Indonesia pada awal bulan April 2004 adalah kasus Mulyana W Kusumah, anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan tindakan usaha penyuapan
terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory),
ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu (1) pihak pemberi
kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat
Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak penerima kerja
untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan (3)
pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya
diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk
meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai
pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu,
dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar setting teori keagenan di atas dan mencuatnya
kasus Mulyana W Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan
ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya
dalam perspektif teori etika.
Etika
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis
adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi
cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa
dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatandeontological dan
pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological,
perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang
melakukan usaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada
nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, pada
pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan
manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang
memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau
salah.
Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan
publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada
keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi
akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah
prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan
yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan
komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan
masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan
nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities),
berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity)
dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence),
dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode
etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah
tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak.
Tindakan Auditor BPK
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan
adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak
penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor
melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja
dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus
Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan
indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan
adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam
hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah
Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur
profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika
profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab,
yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya.
Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan
pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah
terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat
pantas diragukan. Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara
serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan
prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar
mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana
tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga
telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif,
termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak
percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk
mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak
etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Etiskah Tindakan KPU?
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis
dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima
kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan
pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat
Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK.
Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan
telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor
BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan
tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana menempatkan diri sebagai penerima dan
yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi
kerja harus diaudit, tampaknya tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan
bahwa audit adalah proses yang hampir pasti mencari (sering dipapahami
mencari-cari) dan menemukan sejumlah kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan
korupsi yang bisa diatur dan ditentukan semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar,
akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran
yang berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam
rangka mencapai 'aman' pada proses pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi
kecurangan, kebohongan, dan korupsi, sehingga KPU harus menggunakan sejumlah
uang untuk main mata dengan pihak auditor BPK?
Memang santer didengar oleh masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik
yang dilakukan oleh BPK, BPKP, Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering
menggunakan sejumlah uang untuk mencapai rasa 'aman' atas tindakan pengelolaan
uang.
Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal,
dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah
Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak
pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Secara teoritis-normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan
sejumlah aset atau dana kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya
juga menyampaikan paket sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan
tindakan penerima kerja secara rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan
adanya information assymetri?, yaitu penerima kerja mempunyai
informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun jumlahnya dalam
mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja?
Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk
meyakinkan bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan
benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari
penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab
bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak menjalankan
fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang
tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke
KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar,
transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi
yang bisa jadi dilakukan penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Butuh Waktu
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih
harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang
kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau
korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih,
akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan
dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan
berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri
Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan
teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan
benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi
bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa
dana yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan
karenanya harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan
akuntabel, maka satu poin lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
Adaikan saja, auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan
mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk
meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah
digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin
lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini. (29)
-Dr Muchamad Syafruddin MSi Akt, dosen FE Undip.
Tanggapan :
Dalam
menanggapi kasus Mulyana W Kusumah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima
kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan
komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan
mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W
Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi
terjadinya korupsi di tubuh KPU. Hal tersebut tidak menggambarkan etika profesi
yang baik. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya yang dinyatakan
Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang
didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur,
maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai. Akan tetapi sikap yang dilakukan
oleh pihak auditor tidak demikian.
Seharusnya
sikap seorang auditor tetap menekankan pada prinsip etika berkomunikasi yang baik
selama pemerikasaan dalam melakukan wawancara dan permintaan keterangan dari
pihak yang diaudit atau auditee untuk
memperoleh data. Hal ini diarahkan pada suatu kerjasama, agar proses audit
dapat berjalan dengan lancar dan hasil yang dicapai sesuai dengan harapan kedua
belah pihak. Dengan memperhatikan etika dalam berkomunikasi tentunya dapat
mencegah adanya salah pengertian dan selain itu
mengembangkan sifat keterbukaan auditee dalam penemuan fakta-fakta audit oleh
auditor.
Karena
sikap auditor yang semestinya ialah menjadi auditor yang independen (tidak
memihak siapapun/bebas pengaruh), objektif, jujur dalam segala hal dan
berkompeten atau memiliki keahlian. Yang dimaksud kompetensi disini adalah kualifikasi yang dibutuhkan oleh
auditor untuk melaksanakan audit dengan benar. Dengan begitu auditor
dapat meningkatkan kualitas kerja dalam menjalankan tugas, peer review juga akan
memberikan manfaat bagi pihak yang terlibat dan tentunya akan mengurangi kasus hukum di Indonesia.