Rabu, 09 November 2016

Kaitan Etika Bisnis dan Etika Profesi

Keterkaitan antara Etika Bisnis dan Etika Profesi (Akuntansi)

Mengacu pada pengertian profesi dalam arti luas diartikan sebagai “pekerjaan penunjangnafkah hidup” dan aktivitas bisnis dapat dianggap sebagai profesi. Bisnis dan Profesi merupakan dua kata yang saling berkaitan. Bisnis dapat diartikan sebagai suatu lembaga atau wadah dimana didalamnya berkumpul banyak orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian untuk bekerjasama dalam menjalankan aktivitas produktif dalam rangka memberikan manfaat ekonomi. Dan profesi merupakan orang-orang yang bekerja didalam lingkup bisnis tersebut.

Jika berbicara keterkaitanya Etika bisnis dan Etika profesi Akuntan, jelas keduanya memiliki keterkaitan. Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.

Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi,  objektif dan mengutamakan integritas.  Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya  telah membuktikan  bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdagangan tidak akan berfungsi dengan baik.

Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa bisnis tidak memerlukan etika. Hal tersebut tidak sama sekali benar, karena akan merugikan berbagai pihak. Hendaknya setiap pelaku bisnis menjalankan bisnisnya sesuai degan kode etik dan prinsip etika yang berlaku. Semua hal yang dilakukan dengan benar akan menghasilkan sesuatu yang  bermanfaat kepada banyak pihak. Karena pada kenyataannya kode etik bermanfaat untuk mengurangi risiko kerusakan di lingkungan sekitar.

              http://lollipop46.blogspot.co.id/2015/02/v-behaviorurldefaultvmlo_13.html

Kode Etik pada Bisnis

Contoh Kode Etik pada Bisnis

Dalam berbisnis tentu harus memiliki aturan dan etika untuk memajukan usaha atau bisnis yang kita jalankan. Sebuah usaha akan maju dan berkembang jika pengelola bisnis memiliki etika yang baik dan memiliki kecerdasan dalam tim.
Berikut contoh kode etik pada bisnis :
1.      Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etik”.

2.      Pengembanan akan tanggung jawab secara sosial
Bahwa setiap perusahaan memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingan yang diantaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

3.      Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan wajar dengan mematuhi aturan main tertentu disebut persaingan sehat dan memberi dampak positif bagi pihak-pihak yang bersaing, aitu adanya motivasi untuk lebih baik

4.      Menerapkan konsep “Pembangunan Berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.

5.      Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

6.      Mampu menyatakan Benar dan Salah
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit  (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong” dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
7.      Menumbuhkan sikap saling percaya antar golongan pengusaha
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

8.      Konsekuen dan konsisten dengan aturan main bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan” demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu demi satu

9.      Memelihara kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuh kembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

10.  Menuangkan ke dalam hukum positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut.

              https://agungkevinkarang.wordpress.com/2015/10/10/etika-profesi-akuntansi-  perilaku-          etika-dalam-bisnis/

Faktor yang Mempengaruhi Etika pada Bisnis

Faktor yang Mempengaruhi Etika pada Bisnis

Etika bisnis memiliki definisi yang hampir sama dengan etika profesi, namun secara lebih rinci. Etika bisnis adalah perilaku etis atau tidak etis yang dilakukan oleh pimpinan, manajer, karyawan, agen, atau perwakilan suatu perusahaan.
Faktor yang mempengaruhi Perilaku Etika. Tiga faktor utamanya, yaitu :

1.      Perbedaan Budaya
Perilaku bisnis orang Indonesia tentu saja berbeda dengan Negara lain. Hal yang sama, daerah atau kota tertentu berbeda perilaku bisnisnya dengan daerah lain. Semakin banyak hal yang diketahui dan semakin baik seseorang memahami suatu situasi, semakin baik pula kesempatannya dalam membuat keputusan-keputusan yang etis. Ketidaktahuan bukanlah alasan yang dapat diterima dalam pandangan hukum, termasuk masalah etika.

2.      Perilaku Organisasi
Dasar etika bisnis adalah bersifat kesadaran etis dan meliputi standar-standar perilaku. Banyak organisasi menyadari betul perlunya menetapkan peraturan-peraturan perusahaan terkait perilaku dan menyediakan tenaga pelatih untuk memperkenalkan dan memberi pemahaman tentang permasalahan etika.

3.      Hubungan Manajemen
Di dalam suatu bisnis perusahaan, penting bagi pihak internal untuk menjalin hubungan yang baik antar sesama pegawai, atasan, dan bawahan. Degan begitu dapat menciptakan saling pengertian antara pegawai, ataupun antara pimpinan dengan semua pegawai dalam sebuah organisasi; Mendapatkan data-data yang lengkap tentang sikap dan tingkah laku pegawai. Data ini diperlukan dalam rangka pembinaan, pengorganisasian, kerjasama, koordinasi dan evaluasi terhadap pegawai, menciptakan kerjasama yang serasi antara pegawai, menanamkan rasa damai kepada pegawai, menanamkan rasa sukses kepada pegawai sehingga mereka merasa diberi kesempatan untuk maju dalam mengembangkan kariernya, menanamkan loyalitas para pegawai, menanamkan rasa tanggungjawab kepada para pegawai dan menciptakan adanya semangat kerja yang tinggi.

               https://thisisdanawriting.wordpress.com/2015/10/11/perilaku-etika-dalam-bisnis/

Minggu, 16 Oktober 2016

Lebih penting Etika Profesi atau Kemampuan Pribadi?

Lebih penting mana?
Etika Profesi atau Kemampuan Pribadi???
Etika profesi adalah adalah studi penerapan dari prinsip moral dasar atau norma-norma etis umum pada bidang profesi. Nilai-nilai etika itu bukan hanya milik segelintir orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok sosial, bahkan komunitas yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama, begitupun nilai-nilai etika profesi bukan hanya untuk segelintir atau sekelompok profesional, namun dituntut bagi semua orang yang terlibat dalam segala bidang profesi kerja. Etika profesi memberikan tuntutan agar profesional memiliki inisiatif dalam bekerja profesional agar bisa menemukan inovasi.
Profesional yang  menjunjung etika profesi selalu memiliki niat yang benar sesuai dengan profesinya. Orang yang tidak memiliki niat yang benar saat bekerja tidak akan bekerja dengan baik. Orang itu tidak akan memiliki komitmen terhadap kerja yang dilakukannya.
Etika profesi mendorong Sifat amanah dalam profesi, sifat amanah adalah inti keharmonisan dan kesuksesan sebuah institusi masyarakat atau pekerjaan; sebuah perusahaan misalnya. Bayangkan jika seseorang karyawan atau pegawai tidak memiliki sifat amanah; segala urusan tidak akan berjalan sempurna dan membawa kepada kehancuran institusi atau perusahaan tersebut.
Etika Profesi menganjurkan komitmen terhadap profesi. Kunci kesuksesan seseorang adalah berkomitmen terhadap karir yang ditekuninya. Berkomitmen yang dimaksud di sini adalah berkonsentrasi dan sungguh-sungguh terhadap apa yang dilakukan. Sifat berkomitmen ini dapat berkontribusi ke arah adanya mutu kerja atau layanan yang cemerlang.
Etika Profesi intinya adalah Moral. Moral merupakan inti pembentukan etika kerja professional. Moral  mulia yang dimiliki oleh karyawan maupun pimpinan menjadi lambang ketinggian pribadi dan kualitas individu tersebut. Apalah gunanya seorang yang berpendidikan tinggi dan kemudian menjabat pekerjaan yang bagus jika moralnya buruk. Moral yang buruk di sini misalnya menerapkan korupsi, dasar pilih kasih dalam kerja, dan tidak berkomitmen dalam kerja. Banyak contoh yang dapat kita lihat dalam administrasi negara kita sendiri di mana politisi yang mengamalkan korupsi dan tidak kurangnya juga yang menerima suap untuk menyetujui suatu proyek. Bahkan suatu gejala poltik uang pernah menggemparkan sebuah raksasa politik di negara kita. Kesimpulannya  moral adalah inti dari etika profesi ini.
Sifat jujur atau benar dapat membentuk hubungan yang sehat di antara sesama karyawan, karyawan dan majikan dan sesama pelanggan atau pun orang yang berurusan di dalam pekerjaan tersebut. Sifat jujur dan benar dapat membendung segala perasaan kecurigaan dan tipu daya atau pun dusta. Contoh tipu daya dalam pekerjaan adalah trader yang suka menipu pelanggannya dengan tujuan melipatgandakan keuntungan. kejujuran  di dalam pekerjaan sangat ditekankan pada Etika Profesi.
Sedangkan kemampuan pribadi adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Atau kemampuan juga dapat diartikan sebagai keahlian, kesanggupan atau kekuatan dari dalam diri untuk mengerjakan sesuatu hal sesuai takaran yang ada didalam diri. Kemampuan pribadi atau kemampuan yang ada didalam diri sendiri bisa didapat dari berbagai aspek, misalnya lingkungan, keluarga, teman, sekolah dan lain sebagainya.
Kemampuan pribadi dapat di asah atau dikembangkan dengan kemauan yang ada didalam diri. Kemampuan pribadi juga dapat dikategorikan bermacam-macam, yaitu kemampuan dalam bercakap, kemampuan intelektual dan lain sebagainya. Kemapuan dapat dikategorikan pula sebagai tolak ukur seseorang dalam meraih keberhasilan. Semakin tinggi kemampuan kita, berarti semakin besar pula gerbang kesuksesan yang akan diraih.
Jika berbicara soal seberapa penting etika profesi dan kemampuan pribadi, sebenarnya kedua hal tersebut memiliki nilai yang sama penting. Akan tetapi, jika ada pertanyaan “Penting mana Etika Profesi atau Kemampuan Pribadi?”. Jawabannya adalah etika profesi. Mengapa demikian, karena orang yang hanya memiliki kemampuan pribadi yang tinggi belum tentu memiliki karakter, watak, atau sikap norma yang tinggi pula. Sedangkan orang yang memiliki etika profesi yang baik, sudah pasti orang tersebut memiliki sikap profesional dan inisiatif untuk menemukan inovasi dalam mengembangkan kemampuan karena selalu menjunjung tinggi moral, komitmen dan kejujuran. 
               http://jaringankomputer.org/etika-profesi-dan-tanggung-jawab-profesi/

Etika Profesi

“Pentingnnya Etika Profesi”
Apakah etika, dan apakah etika profesi itu ? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI :
 • Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
• Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
• Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
Sumber: http://eprints.undip.ac.id/4907/1/Etika_Profesi.pdf

Contoh Kasus Etika Profesi pada Perspektif Etika

Kasus Mulyana dalam Perspektif Etika
SALAH satu kasus yang menyita perhatian publik Indonesia pada awal bulan April 2004 adalah kasus Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu (1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan (3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar setting teori keagenan di atas dan mencuatnya kasus Mulyana W Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika.
Etika
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatandeontological dan pendekatan teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau salah.
Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak.
Tindakan Auditor BPK
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Etiskah Tindakan KPU?
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai 'aman' pada proses pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi, sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak auditor BPK?
Memang santer didengar oleh masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP, Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk mencapai rasa 'aman' atas tindakan pengelolaan uang.
Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Secara teoritis-normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?, yaitu penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja?
Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Butuh Waktu
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka satu poin lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
Adaikan saja, auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini. (29)
-Dr Muchamad Syafruddin MSi Akt, dosen FE Undip.

Tanggapan :
Dalam menanggapi kasus Mulyana W Kusumah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU. Hal tersebut tidak menggambarkan etika profesi yang baik. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya yang dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai. Akan tetapi sikap yang dilakukan oleh pihak auditor tidak demikian.
Seharusnya sikap seorang auditor tetap menekankan pada prinsip etika berkomunikasi yang baik selama pemerikasaan dalam melakukan wawancara dan permintaan keterangan dari pihak yang diaudit atau auditee untuk memperoleh data. Hal ini diarahkan pada suatu kerjasama, agar proses audit dapat berjalan dengan lancar dan hasil yang dicapai sesuai dengan harapan kedua belah pihak. Dengan memperhatikan etika dalam berkomunikasi tentunya dapat mencegah adanya salah pengertian dan selain itu mengembangkan sifat keterbukaan auditee dalam penemuan fakta-fakta audit oleh auditor.
Karena sikap auditor yang semestinya ialah menjadi auditor yang independen (tidak memihak siapapun/bebas pengaruh), objektif, jujur dalam segala hal dan berkompeten atau memiliki keahlian. Yang dimaksud kompetensi disini adalah kualifikasi yang dibutuhkan oleh auditor untuk melaksanakan audit dengan benar. Dengan begitu auditor dapat meningkatkan kualitas kerja dalam menjalankan tugas, peer review juga akan memberikan manfaat bagi pihak yang terlibat dan tentunya akan mengurangi  kasus hukum di Indonesia.

Rabu, 22 Juni 2016

”Bagaimana Menghadapi Masalah”

"Meningkatkan Keimanan melalui masalah yang dihadapi sesuai dengan ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW.."

Roses PowerPoint Template PPT  

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatu

            Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga artikel ini dapat diselesaikan penulis. Shalawat serta salam juga tak lupa dipanjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan peringatan dan nasihat kepada umatnya agar senantiasa berada di jalan yang diridhoi Allah SWT. Aamiin..
            Artikel ini akan membahas tentang “Bagaimana Menghadapi Masalah”. Sebelumnya kita harus tahu,  “apa itu masalah??”. Masalah biasanya terjadi ketika adanya perbedaan antara kenyataan yang dihadapi dengan harapan yang diinginkan. Manusia merupakan hamba Allah yang banyak diberikan masalah. Masalah yang terjadi adalah tolak ukur keimanan seseorang agar menjadi manusia yang lebih dicintai Allah. Masalah sering dikaitkan dengan sesuatu yang buruk-buruk saja seperti sakit, ditimpa bencana atau ditinggal pergi (meninggal) orang yang dikasihinya. Ternyata sesuatu yang baik juga merupakan bentuk lain dari ujian atau masalah, seperti diberikan pangkat/jabatan, diberikan kecantikan, harta dan kekayaan melimpah. Allah berfirman:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami” (Qs. Al-Anbiya : 35). Dalam ayat lain Allah berfirman “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Qs. Al-Baqarah : 286). Segala sesuatu didunia ini sudah diatur oleh Allah SWT, semua berjalan sesuai dengan kehendak dan izin-Nya. Manusia hanya berencana tetapi Allah SWT yang menentukan segalanya. Allah mengertahui yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Dalam Al-quran dikatakan bahwa “...Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)” (Qs. Ar-Rad : 2).Allah berfirman 
“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Qs. Al-Qamar : 49).
 “Setiap bencana yang menimpa dibumi dan yang menimpa dirimu, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah”(Qs. Al-Hadid : 22). Sebagai seorang muslim, seharusnya kita tetap berprasangka baik terhadap Allah dengan masalah yang dihadapi. Seperti hadist yang mengatakan “Sesungguhnya Allah Berkata : Aku sesuai prasangka hambaKu padaKu. Jika prasangka itu baik, maka kebaikan baginya. Dan apabila prasangka itu buruk, maka keburukan itu baginya”(HR Muslim). Berkhusnuzonlah terhadap Allah, karena bisa saja masalah yang kita hadapi adalah bentuk rasa sayang Allah terhadap hambanya. Ketika kita berhasil melewati masalah tersebut, maka kebahagiaan dunia dan akhirat insyaAllah didapat. Semakin kuat iman, semakin berat masalah, namun semakin Allah cinta. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang sholeh, kemudian disusul oleh orang-orang yang mulia, lalu oleh orang-orang yang mulia berikutnya. Seseorang diuji dengan kadar pengalaman agamanya. Bila dalam mengamalkan agamanya dia begitu kuat, maka semakin kuat pula cobaannya” (HR. Imam At-Tirmidzi dan HR. Imam Ahmad). Jika kita meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan petunjuk dari setiap masalah yang dihadapi, Allah maha pengasih dan penyayang. Seperti ayat yang mengatakan “Maka sesungguhkan bersama kesulitan ada kemudahan” (Qs. Asy-Syarh : 5). Jadikan masalah sebagai sarana kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Roses PowerPoint Template PPT            Nabi Muhammad SAW merupakan manusia yang banyak menghadapi cobaan dalam menyebarkan dakwahnya. Rasulullah adalah suri teladan bagi kita semua sebagai umatnya, sudah sepatutnya kita mencontoh sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah. Kita dapat mempelajari dan menjadikan contoh sifat dan sikap beliau dalam menghadapi masalah. Allah Berfirman :
“Sungguh telah ada suri teladan yang baik pada (diri) Rasulullah bagimu, (yaitu)bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah” (Qs. Al-Ahzab : 21). 
Salah satu kisah Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan contoh kesabaran saat dihadapkan dengan masalah yang sulit, yaitu pada tahun khandaq, bulan Syawal. Perang khandaq yaitu perang yang sangat sulit dimana Madinah dikepung dengan sangat ketat dalam waktu yang lama yang membuat kaum muslimin berada dalam posisi amat sulit sehingga mereka tidak tidur dan istirahat berhari-hari. Adapun yang menjadi sebab pertempuran ini yaitu karena Rasulullah telah mengusir pemuka Yahudi Banin Nadhir Roses PowerPoint Template PPTdari kota Madinah ke Khaibar, didalamnya termasuk Salam bin Masykam dan Khanan ibnar Rabi’. Mereka keluar menuju kota mekah dan berkumpul bersama dengan para pemuka Quraisy dan kaum Ghathfan. 
Mereka bersekutu untuk memerangi Rasulullah SAW. Kaum Quraisy keluar bersama sekutunya dibawah pimpinan Abu sufyan Shakhar bin Harb dan kaum Ghathfan dibawah pimpinan Uyainah bin Hushun bin Badar dengan kekuatan sebesar sepuluh ribu orang. Mendengar pergerakan musuh untuk melakukan penyerangan, beliau memerintahkan kaum muslimin untuk menggali khandaq (lubang) disekitar kota Madinah yang berhadapan ke timur kota. Dengan penuh ketekunan kaum Muslimin bersama Rasulullah SAW bekerja keras menggali dan memindahkan tanah serta batu-batu agar musuh tidak dapat melewati wilayah kaum muslimin dengan berkuda dan berjalan kaki. Beberapa waktu kemudian, kaum musyrikin datang dengan membuat tenda disebelah timur kota didekat Uhud. Lalu salah satu kelompok dari mereka turun kedataran tinggi kota Madinah, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika penglihatan-(mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu berprasangka yanng bukan-bukan terhadap Allah” (Qs. Al-Ahzab : 10). Rasulullah SAW keluar bersama kaum Muslimin yang berkekuatan sekitar tiga ribu orang. Mereka menyandarkan punggung ke bongkahan batu-batu sementara wajah mereka menghadap ke arah datangnya musuh. Sedangkan khandaq didepan mereka tidak lebih dari sebuah lubang tanpa air yang memisahkan antara mereka dan menghalangi pasukan berkuda dan pejalan kaki untuk sampai kepada mereka. Kaum wanita dan anak-anak ada didalam benteng kota.
Bani quraizhah adalah salah satu kelompok yahudi yang memiliki benteng di sebelah timur kota Madinah dan terikat perjanjian serta jaminan dengan Rasulullah SAW. Jumlah kekuatan mereka sekitar delapan ratus laskar. Lalu Huyai bin Akhtab an-Nadhari pergi menemui mereka dan membujuk untuk bersama-sama menyerang Rasulullah. Ia tidak beranjak dari sana sebelum mereka setuju untuk mengkhianati perjanjian yang telah dibuat dan mengepung Rasullulah SAW dan kaum muslimin. Kini urusan semakin besar, persoalan semakin rumit dan keadaan semakin kritis sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 11 “Disitulah diuji orang-orang mukmin, dan digoncanghkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat dahsyat”.
Mereka tetap tinggal disana melindungi Rasullulah dan para sahabatnya selama hampir satu bulan. Hanya saja kaum musyrikin belum sampai kepada mereka dan belum terjadi pertempuran antara mereka.  Ternyata ada musuh yang berhasil melewati khandaq yang telah dibuat oleh Rasullulah dan kaumnya dan berhasil menuju kearah kaum muslimin, dia adalah Amrun bin Abdi Wuddin salah seorang pasukan berkuda dan pahlawan pemberani yang tersohor pada zaman jahiliah bersama beberapa orang prajurit berkuda. Rasulullah segera memerintakan prajurit berkudanya untuk menghadapi musuh, namun tidak ada seorangpun yang menuruti perintah beliau, lalu Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib yang segera keluar untuk menghadapi musuh. 
Beberapa saat keduanya bertempur hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib membunuh musuh dan ini adalah pertanda kemenangan. Bahaya yang datang dan situasi yang semakin mencekam tidak membuat Rasulullah menjadi lemah dan mundur, dalam keadaan luka parah Rasulullah tetap memberikan semangat kepada kaumnya agar tetap kuat menghadapi musuh. Beliu bersabda “Bergembiralah dan tunggulah dengan kemenangan dan pertolongan dari Allah”. 
Lalu Allah mengirimkan angin topan yang berhembus sangat dahsyat ke arah para para pengepung hingga tidak ada sebuah tenda yang tersisa dan api unggun yang menyala. Musuh pun lari dengan membawa ketakutan dan kerugian. Allah telah membantu Rasulullah dan kaum muslimin sebagaimana firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah, (yang telah dikaruniakan kepadamu) ketika bala tentara datang kepadamu, lalu kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat terlihat olehmu, Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Al-Ahzab : 9).  Bahaya yang datang tidak mempengaruhi sikap kepemimpinan beliau, bahkan yang ada dalam jiwanya adalah kesabaran yang tumbuh diatas kesabaran.

Roses PowerPoint Template PPT            Dari kisah Nabi Muhammad SAW tersebut, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran. Dalam keadaan sesulit apapun, kita harus tetap berkhusnuzon terhadap Allah, bersabar, berdoa dan berusaha. Beliau mencontohkan akhlak mulia berupa kesabaran. Dalam keadaan sulit, beliau tetap bersabar menghadapi masalah. Sabar bukanlah bentuk keputusasaan, tapi merupakan optimisme dan perjuangan yang terukur dengan baik. Allah SWT juga memerintahkan kita untuk bersabar. Sebagai hamba Allah yang taat, kita harus belajar melatih kesabaran. Sabar merupakan ilmu tingkat tinggi, sehingga harus dipelajari setiap hari, dilatih setiap saat, karena ujian kesabaran sering datang mendadak. Adapun  beberapa firman Allah yang berbicara tentang kesabaran yaitu:  Allah berfirman:      
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan solat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar” (Qs Al-Baqarah ayat 153).  Dalam ayat lain juga dikatakan “Dan Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan solat. Dan (solat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) mereka yang yakin bahwa akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (Qs Al-Baqarah : 45-46). Allah SWT selalu bersama hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersabar. Allah Berfirman : “Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nyalah kami kembali). Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmatdari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs Al-Baqarah : 156-157)

Roses PowerPoint Template PPT            Semoga kita lebih bijaksana dalam menghadapi masalah yang terjadi. Senantiasa selalu bersabar serta mengikuti sifat dan sikap baginda Muhammad SAW dalam melewati setiap proses masalah. Meminta pertolongan semata-mata hanya kepada Allah. Tidak ada masalah yang tidak bisa hilang ketika Allah sudah berkehendak. Sesungguhnya kekuatan hanya milik Allah. “Bagaimana kamu sampai menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul pun berada ditengah-tengah kamu. Barang siapa berpegang teguh kepada agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Qs Ali-Imran : 101).

            Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bersabar. Aamiin Ya Robbal Alamin.. Berlombalah dalam kebaikan, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs. Ali Imran : 104). Kurang lebihnya mohon maaf jika masih banyak kekurangan yang terjadi dalam pembuatan artikel ini karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Dan terimakasih telah membaca.
Wasalamua’laikum Warohmatullahi Wabarakatuh..
                                                                                               


                                                                                                            Salam

                                                                                            
                                                                                                      Rahma Kurnia 
                                                                                                        Finance HO

Jumat, 13 Mei 2016

Tugas 2 - Bahasa Inggris Bisnis 2, tentang Passive Voice

“Open wounds”
After half a century, Indonesia opens a debate about its darkest year
Apr 23rd 2016 | From the print edition

IN LITTLE more than a decade, starting in 1965, Asia suffered four man-made catastrophes apart from the Vietnam war; altogether they cost millions of lives. China endured the Cultural Revolution. Bangladesh was born amid horror and mass slaughter. In Cambodia Pol Pot’s Khmers Rouges inflicted genocide on their own countrymen. And in Indonesia hundreds of thousands of suspected communist sympathisers died in 1965-66 as the then General Suharto consolidated what was to become a 32-year dictatorship. None of these disasters has been subject to a thorough public accounting, let alone a truth-and-reconciliation process. Of the four, however, Indonesia’s has been the least examined at home. Unlike the others, it has remained a taboo topic; its survivors still suffer censorship, discrimination and persecution.
So a symposium held this week in Jakarta, the capital, titled “Dissecting the 1965 tragedy”, was remarkable. Human-rights groups, former army officers, government representatives, victims’ families and survivors met in a public forum. Opinions on the worth of the exercise varied. That it happened at all prompted protests from some Islamic groups, seeing, implausibly, the thin end of a communist-revival wedge. Government spokesmen questioned the scale of the killings being discussed. Even some of the activists, who for decades have been urging Indonesia to face up to the carnage, saw the symposium less as historic breakthrough than as history rewritten.
How many died that year is unknown. It started with the murder of six generals in the early hours of October 1st 1965. This was blamed on an alleged coup attempt by the Indonesian Communist Party, or PKI. Purging the country of supposed PKI sympathisers meant murdering, by one common guess, 500,000 people. Haris Azhar of Kontras, a charity that campaigns for the rights of the victims, thinks it was between 1m and 2m, with a far larger number affected in other ways: by imprisonment, torture, forced labour, rape or exile. The obscurity is deliberate. Suharto held power until 1998; twice as much time to bury the truth as to unearth it. But the period is still glossed over in school history lessons and books about it are banned.  
Its shadow falls across islands where millions live side-by-side with former tormentors or victims. An estimated 40m are still excluded from government jobs because of their families’ alleged association with the PKI. Some of the bloodiest massacres happened in Java and Bali, but violence scarred most of the archipelago. Indonesia, hiding its past, never learns its lessons. The grim techniques of control that were honed during the terror were later used with disastrous effect against faraway secessionist movements: East Timor (now Timor-Leste), Aceh and Papua.
It counts as progress that the symposium drew together so many people on both sides of the killings—or at least their children. One of the organisers was Agus Widjojo, an intellectual former general and a son of one of the six assassinated in 1965. One delegate was the daughter of D.N. Aidit, leader of the PKI at the time—when only the Soviet Union and China had larger communist parties. Another was Sukmawati Sukarnoputri, one of the daughters of Sukarno, Indonesia’s founding president, who was squeezed out of power by Suharto in 1966.
Yet the former army men and the government seemed to cast doubt on whether there was anything to discuss at all, dismissing the notion that hundreds of thousands had died. A retired general, Sintong Panjaitan, said the figure was closer to 80,000. Another former general, Luhut Panjaitan (no relation), now the government’s security minister, went further: “I don’t believe the number was more than 1,000; probably fewer.”
Some activists claimed that the symposium, a worthy idea of academics and NGOs, had been “hijacked” by the government. Mr Haris of Kontras boycotted it, arguing it was designed to portray the tragedy as the result of a “social conflict” between rival groups—ie, ignoring the “dirty hand” of the government and army  . Others, however, such as Andreas Harsono, of Human Rights Watch, a New York-based lobby group, welcomed the symposium as a “tiny” but important first step. Optimists hope it will be followed by other meetings round the country and so, at long last, by a national reckoning. The generals’ estimates of the death toll may be ludicrously understated, but at least they open the way for a discussion about the real numbers.
Many hoped that the administration of Joko Widodo, the president elected in 2014, might be happy to open such a debate. The first president from outside the old elite, with no military links, he seemed to have much to gain. But maybe the Islamic groups, the army and others opposed to open discussion have more political clout, even today, than survivors and victims’ descendants. Mr Luhut ruled out any government apology, and appeared to see calls for openness as a foreign plot, thundering: “I’ll be damned if this country is controlled by other countries.”
The sound of silence
Perhaps he was thinking of the part played in raising awareness of the slaughter by two harrowing, prizewinning documentaries (“The Act of Killing” and “The Look of Silence”) by an American film-maker, Joshua Oppenheimer. But in fact for years the West connived in the silence: America, Britain and other countries were aware of the massacres. In 1966 Australia’s prime minister, Harold Holt, seemed pleased that Indonesia had been straightened out, telling an audience in New York that “with 500,000 to 1m communist sympathisers knocked off...I think it is safe to assume a reorientation has taken place.” It is not only inside Indonesia that an examination of the year of living dangerously raises embarrassing questions about the cold war and its effect on basic human values. But it is Indonesia that has to live with the consequences, and Indonesians, above all, who are demanding truth in the hope that one day justice and reconciliation may follow


Making Indonesia work

“Open up”

The next revolution that Indonesia needs

Feb 27th 2016 | From the print edition

AN INDONESIAN trade minister, Rachmat Gobel, once wanted to ban the import of secondhand clothing because, he said, it could transmit the HIVvirus. He also restricted imports of beef to promote the dubious goal of self-sufficiency; the result was not rendang in every pot, but soaring beef prices, butchers’ strikes and protests. Mercifully, Mr Gobel was shown the door last August, and his replacement, Tom Lembong, seems to believe that a country’s trade ministry should facilitate rather than impede free trade
.
But Mr Gobel’s views remain all too common in Indonesia, and Mr Lembong’s all too rare. The world’s fourth-most populous country is blessed with a natural bounty of coal and oil under ground and, above it, forests and plantations producing rubber and palm oil. But its huge potential in other areas is still unrealised (see our special report in this week’s issue). As with many resource-dependent economies, protectionism and rent-seeking have flourished. The government shields large domestic players at the expense of consumers. In 2007 Indonesia expanded the number of industries in which foreign investment is barred or restricted from 83 to 338, making it South-East Asia’s most hostile country to foreign capital. When commodity prices were high and China was buying, this model appeared to work reasonably well. Indonesia’s economy grew, and if foreign companies wanted what was in Indonesian mines they had to play by Indonesian rules. Now that commodity prices have plummeted, output is sputtering and Indonesia’s weaknesses are apparent.

Joko Widodo, Indonesia’s president (pictured above), who is widely known as Jokowi, came to power promising reform. He has said a lot of sensible things about boosting infrastructure, reducing subsidies and attracting foreign investment, particularly the sort that brings high-value manufacturing and service jobs. But the kinds of firms that produce these jobs are choosy. If Indonesia does not create the right conditions, they will not invest, and Jokowi’s promise to return Indonesia to 7% growth—a tall order at the best of times—will go unkept.
Unfortunately, his record has fallen short of the reformist rhetoric. He got a few big things right after taking office, cutting wasteful fuel subsidies and introducing a one-stop shop for business licensing, which simplified a notoriously Byzantine process. More recently he has trimmed Indonesia’s negative investment list, removing barriers to foreign investors in 30 areas of the economy, including cold storage and warehousing, which should help stabilise food prices and help fishermen sell their catches.
The other Jokowi
Alas, these reforms have been countered by other policies that smack of the old protectionism. Even as Jokowi lowered some restrictions, he increased barriers to foreign investment in 19 other industries. In July he unveiled a law requiring that at least 30% of components in tablets and smartphones sold in Indonesia should be made in the country—despite lacking the industrial base to produce them.
This balance-sheet is not good enough. If Jokowi is to be the man to lead Indonesia to sustained prosperity, he needs to toughen his reformist mettle—and quickly. The to-do list is a long one, starting with slashing the negative-investment list and lifting restrictions on agriculture that keep rice prices high. None of this will be easy in a country where powerful vested interests have ensured that protectionism has predominated for decades. But it is not impossible. Indonesians have shown great bravery in their revolutions for independence and freedom. Now the economy needs to be unchained.

“A guide to the Philippines’ history, economy and politics”

THE Philippines is one of Asia’s two archipelagic states (Indonesia is the other), comprising more than 7,000 islands dividing the Pacific Ocean from the South China Sea. Those islands are divided into three broad groups: Luzon, the largest and northernmost grouping (and name of its main island), home to the sprawling, beguiling and often infuriating capital city of Manila; Visayas in the centre, anchored by Cebu, the Philippines’ booming second city; and Mindanao, home to a sizable Muslim population in the south-west. Mindanao has long been underdeveloped: average GDP per person in the Autonomous Muslim Region of Mindanao is less than a fifth that of the wealthy capital and surrounding area.

Mindanao has been in the news recently thanks to Rodrigo Duterte, mayor of its biggest city, Davao, for most of the past 25 years, who is now favourite to win the country's presidential election on May 9th. Assuming the outgoing president, Benigno Aquino, leaves as planned on June 10th, he will be the first Philippine president since Fidel Ramos in 1998 to enter and leave office via orderly democratic transition. Mr Duterte, who has never held national office and evinces only passing interest in policy, has ridden a wave of voter discontent. People are fed up with narrow, cronyist politics dominated by a few prominent families. They want an outsider to shake and clean things up.







 TENSES:

1.    1. This was blamed on an alleged coup attempt by the Indonesian Communist Party, or PKI

 Simple Past

2. Who was squeezed out of power by Suharto in 1966  Simple Past

3. Some activists claimed that the symposium, a worthy idea of academics and NGOs, had

been “hijacked” by the government  Past Perfect

4. Optimists hope it will be followed by other meetings round the country and so, at long

last, by a national reckoning  Simple Future

5. I’ll be damned if this country is controlled by other countries  Simple Present

6. if foreign companies wanted what was in Indonesian mines they had to play by

Indonesian rules  Simple Present

7. Alas, these reforms have been countered by other policies that smack of the old

protectionism  Past Perfect

8. People are fed up with narrow, cronyist politics dominated by a few prominent families.

They want an outsider to shake and clean things up  Simple Present